Senja yang dingin kota yang terguyur
hujan bagaikan tubuh dimandikan titik-titik air sower di kamar mandi, hapuskan penat siang yang panas dan gerah. Semilir
Angin meraba menyentuh sekujur kulit menegakkan bulu-bulu roma. Menyapa
mendekap menciumi sekujur tubuh yang ringkih nan rapuh. Sayup-sayup sahdu
murotal mutiara-mutiara langit yang memperkaya jiwa-jiwa yang miskin.
gelombangnya mengetuk daun telinga mengucapkan salam permisi masuk bergemah di gendang telinga. Pagarku basah
dengan titik air hujan serupa berlian-berlian putih jernih menetes ikuti gaya
grafitasi bumi. Berbincang pelan dengan tiap bebatuan jejalanan, atap-atap
pelataran dan dedaunan. Tetesannya memuncuat-cuat menggoda lawan bicara.
Katak-katak bersuka ria bernyanyi menari dan berpesta menyambut kejayaan.
Bersyukur atas segala cinta. Berharap hujan kan hapuskan segala luka,
melahirkan semangat kasih sayang yang tak terkira.
Kisah cintaku tak seindah dongeng. Tak
cinderala, tak rapunsel, tak putri salju tidak juga putri tidur. Kisahku lebih
seperti Qois dan laila. Qais tal elak mengemban julukan majnun karena
ketidak mampuannya hadapi cinta yang meluap-luap melebihi volume hatinya pada
laila. Seumur hidup dalam sisa hidupnya terasing dengan kegelapan, terusir,
kesepian bertemankan binantang-binantang buas, panas dingin alam yang
meremukkan tulang-tulang dan persendihannya namun untungnya semua itu tak mampu
meracuni dan melumpuhkan hatinya yang hanya dibingkai, dibekukan dan diawetkan
untuk laila. Keberadaan nafasnya hanya karena masih adanya bayangan laila dalam
imajinasinya yang mengkristal terhadap kekasihnya yang cantik jelita. Laila
yang hanya seorang belia sebesar apapun balasan perasaan cintanya pada Qais,
ingin hati menampung seluruh muatan cinta pria pujaan hatinya itu namun apa
daya dia tidak mampu menghancurkan besi-besi jeruji penjara yang dibuat adat
kepadanya. Aku mencintai bulan, takjub
dengan cahayanya yang mempercantik malam. Jatuh hati dengan stilenya sebagai
indeks waktu. Kadang sempurna,dan kadang purnama, kadang sabit bahkan kadang
tiada. Dengan setia menemani dan menjaga saudara-saudara kecilnya yaitu bintang
gumintang yang menghangatkannya.Harap gapai bulan, memeluknya dan bawakannya
pulang. Gantung di dinding kamar agarku bisa tersenyum saat mata ingin
berpejam. Malang sungguh tak dapat ditolak, untung sungguh tak dapat diraih
yang ku dapati malah bulan indah yang semu. Aku mengejarnya bagai pemain bola
menjemput bolanya di lapangan berumput. Rasa hati sudah menyentuh dan
mendekapnya kelihatan nyata, sempurna dan dekat namun aku malah tengelam
kedalam kubangan air yang dalam, tak mampu berenang menyelamatkan diri, peri
hidung menghirup berliter air, pusing terbentur batu dinding, ku temukan bulan
impianku dalam sumur yang jauh dari
rumahku. Di sebuah negri asing dalam sebuah kemusafiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar